Selasa, 12 Juni 2012

PERIKATAN YANG BERSUMBER PADA PERJANJIAN


A.   Pengertian dan Macam-Macam Perjanjian.
            Perjanjian adalah sumber penting yang melahirkan perikatan. Pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Pdt: “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih”. Atau juga dapat diartikan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian tersebut menerbitkan perikatan, oleh karena itu perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
            Perjanjian terdiri dari dua macam, yaitu:
a.       Perjanjian Obligatoir yaitu suatu perjanjian dimana mengharuskan/mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.
b.      Perjanjian Non Obligator yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan seseorang membayar/menyerahkan sesuatu.
            Perjanjian Obligator ada beberapa macam, yaitu:
1.      Perjanjian sepihak ialah perjanjia yang hanya ada kewajiban pada satu pihak, dan hanya ada hak pada pihak lain.
2.      Perjanjian timbal balik ialah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah pihak.
3.      Perjanjian Cuma-Cuma ialah perjanjian dalam mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tiada mendapatkan nikmat daripadanya.
4.      Perjanjian atas beban ialah perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan prestasi.
5.      Perjanjian konsesuil ialah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan (consensus) dari kedua belah pihak.
6.      Perjanjian riil ialah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan perbuatan/tindakan yang nyata.
7.      Perjanjian formil ialah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu. Bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
8.      Perjanjian bernama ialah perjanjian khusus yang diatur dan disebutkan dalam KUH Pdt buku III bab V s/d bab XVII dan dalam KUHD ( Kitab undang-undang hukum Dagang).
9.      Perjanjian tak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dan tidak disebutkan dalam KUH Pdt dan KUHD.
10.  Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian.
            Perjanjian Non Obligatior ada beberapa macam, yaitu:
1.      Zakelijk overeenkomst ialah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.
2.      Bevifs overeenkomst atau procesrechtelijk overeenkomst ialah perjanjian untuk membuktikan sesuatu. Umumnya ditujukan pada hakim.
3.      Liberatoir overeenkomst ialah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
4.      Vaststelling overeenkomst ialah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum antara kedua belah pihak.

B.   Unsur, Asas dan Syarat Perjanjian.
a.     Unsur-unsur Perjanjian.
          Suatu perjanjian harus memenuhi 3 macam unsure:
1.      Essentialia ialah unsur yang sangat esensi/penting dalam suatu perjanjian yang harus ada.
2.      Naturalia ialah unsur perjanjian yang sewajarnya ada jika tidak dikesampingkan oleh kedua belah pihak.
3.      Accidentalia ialah unsur perjanjian yang ada jika dikehendaki oleh kedua belah pihak.

b.      Asas-asas perjanjian.
            Di dalam ilmu hukum kita kenal adanya 4 asas perjanjian, yaitu:
1.      Asas konsensualitas artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian sudah mengikat.
2.      Bentuk perjanjian bebas artinya perjanjian tidak terikat perjanjian bebas artinya perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu. Boleh diadakan secara tertulis maupun lisan.
3.      Kebebasan berkontrak ialah setiap orang bebas membuat perjanjian yang terdapat dalam Undang-undang yang dikenal sebagai perjanjian bernama.
4.      Apa yang diperjanjikan mengikat kedua belah pihak. Mengikat artinya masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut harus menhormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian.
c.       Syarat-syarat Syah perjanjian.
                Menurut pasal 1320 KUH Pdt, untuk syahnya perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu:
1.      Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3.      Suatu hal tertentu.
4.      Suatu sebab yang halal.
Ad.1) dengan sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan.
Ad.2) dalam pasal 1330 KUH Pdt disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu: orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dan orang perempuan yang telah kawin.
Ad.3) suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi obyek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian.
Ad.4) sebab atau causa ini yang dimaksudkan undang-undang adalha isi perjanjian itu sendiri.
            Syarat no 1 dan 2 disebut “syarat subyektif”, karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orangnya (subyek hukum dalam perjanjian). Syarat 3 dan 4 disebut “syarat obyektif” karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian.
            Syarat-syarat menjadi obyek perjanjian adalah:
1.      Barang-barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 KUH Pdt)
2.      Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (pasal 1333 KUH Pdt)
3.      Barang-barang yang aka nada dikemudian hari (pasal 1334 ayat 1 KUH Pdt)
            Barang-barang yang tidak boleh menjadi obyek perjanjian adalah:
1.      Barang-barang di luar perdagangan.
2.      Barang-barang yang dilarang oleh Undang-undang.
3.      Warisan yang belum terbuka.
            Perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif, akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar) artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perjanjian. Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar) artinya perjanjian tersebut batal kalau ada yang memohonkan pembatalan.
            Menurut pasal 1321 KUH Pdt kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan bebas/tidak sempurna apabila didasarkan:
1.      Kekhilafan (dwaling)
2.      Paksaan (geveld)
3.      Penipuan (bedrog)
Ad.1) khilaf adalah keadaan dimana seseorang mempunyai pandangan yang sama terhadap orang atau barang.
Ad.2) paksaan ialah suatu perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat.
Ad.3) penipuan ialah perbuatan seseorang dengan sengaja memakai alat tipu untuk menimbulkan kekhilafan orang lain.
            Kata sepakat para pihak dalam suatu perjanjian itu harus dinyatakan. Pernyataan itu ada kalanya sesuai dengan kehendaknya, tetapi mungkin pula pernyataan itu tidak sesuai atau tidak selaras dengan kehendaknya. Sehubungan dengan hal ini, untuk menentukan telah terjadinya kata sepakat, ada beberapa teori sebagai berikut:
1.      Teori kehendak (wilstheorie).
            Menurut teori ini jika kita mengemukakan pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat pada pernyataan itu. Dengan demikian tidak terjadi perjanjian.
2.      Teori pernyataan (verklaringstheorie).
            Menurut teori ini kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang pada apa yang dinyatakan.
3.      Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie).
            Menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya. Teori inilah yang sekarang dianut oleh yurisprudensi.
            Dewasa ini sehubungan dengan kemajuan komunikasi, maka sering kali terjadi transaksi-transaksi dilakukan tanpa hadirnya para pihak, misalnya melalui telepon, koresprodensi, Dsb. Sehubungan dengan hal ini, untuk menentukan saat terjadinya perjanjian terdapat berbagai teori, yaitu:
1)      Teori ucapan (uitingstheorie).
            Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut.
2)      Teori pengiriman (verzendingstheorie).
            Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat terjadi dikirimnya surat jawaban, karena saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat.

3)      Teori pengetahuan (vernemingstheorie).
            Menurut teori ini perjanjian terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui.
4)      Teori penerimaan (ontvangstheori).
            Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.
            Apabila suatu perjanjian itu dibuat sudah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Pdt, maka menimbulkan akibat-akibat hukum:
1.      Mengikat kedua belah pihak (pasal 1338 ayat 1 KUH Pdt).
2.      Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu (pasal 1338 ayat 2 KUH Pdt).
3.      Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (pasal 1338 ayat 3 KUH Pdt).
4.      Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang (pasal 1339 KUH Pdt).

C.   Pihak-pihak yang Terikat Pada Perjanjian.
          Pasal 1315 KUH Pdt menentukan: “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Dari pasal 1315 KUH Pdt tersebut dapat kita simpulkan adanya “ azas kepribadian” dari suatu perjanjian. Terhadap azas kepribadian tersebut, terdapat beberapa kekecualian, yang diatur dalam pasal 1316 dan 1317 KUH Pdt.
            Pasal 1316 KUH Pdt menetukan: “meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjajikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu…….dst”. pasal 1316 KUH Pdt terkenal dengan perjanjian garansi.
            Kekecualian lain disebutkan dalam pasal 1317 KUH Pdt yang menentukan: “lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga…….dst”. Pasal 1317 KUH Pdt ini dinamakan janji untuk pihak ketiga (derden beding).
            Selain terdapat kekecualian, azas kepribadian yang ditentukan dalam pasal 1315 KUH Pdt tersebut juga diperluas. Perluasaan Azaz kepribadian disebutkan dalam pasal 1318 KUH Pdt yang menentukan: “jika sesorang minta diperjanjian sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya…….. dst”.
            Jadi pasal 1318 KUH Pdt memperluas personalia suatu perjanjian hingga meliputi:
1.      Para ahli waris pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
2.      Orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
            Hak dan kewajiban yang diperoleh dari suatu perjanjian diwarisi oleh ahli para ahli waris, karena menurut hukum waris segala hak dan kewajiban, atau segala utang piutang, atau aktiva dan pasiva dari pewaris secara otomatis diwarisi atau pindah kepada ahli waris.
            Orang-orang yang memperoleh hak dari seseorang seperti disebutkan dalam pasal 1318 KUH Pdt tersebut dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a.       Orang yang memperoleh hak dari seorang dengan alas hak hukum artinya memperoleh hak dari seseorang secara tidak terperinci (tidak disebutkan satu persatu).
b.      Orang yang memperoleh hak dari seseorang dengan alas hak khusus artinya memperoleh hak dari orang lain secara khusus (mengenai barang-barang teretntu).
            Pasal 1340 KUH Pdt menegaskan kembali asas kepribadian yang sudah dikemukakan dalam pasal 1315 KUH Pdt, yakni bahwa perjanjian tidak dapat membawa rugi bagi pihak ketiga. Terhadap ketentuan ini terdapat pengecualian yang disebut di dalam pasal 1341 KUH Pdt yang tertera dalam ayat 1 dan ayat 2 yang dikenal dengan nama “ Actio Pauliana”.



D.   Cara Menafsirkan perjanjian.
          Suatu perjanjian terdiri atas rangkaian perkataan-perkataan, untuk menetapkan isi perjanjian perlu lebih dahulu menafsirkan perjanjian, Dalam menafsirkan perjanjian ada beberapa pedoman yang ditetapkan dalam pasal:
1.      Pasal 1342 KUH Pdt.
2.      Pasal 1343 KUH Pdt.
3.      Pasal 1344 KUH Pdt.
4.      Pasal 1345 KUH Pdt.
5.      Pasal 1346 KUH Pdt.
6.      Pasal 1347 KUH Pdt.
7.      Pasal 1348 KUH Pdt.
8.      Pasal 1349 KUH Pdt.
9.      Pasal 1350 KUH Pdt.
10.  Pasal 1351 KUH Pdt.










DAFTAR PUSTAKA

Komariah, SH, M.Si. 2010. Hukum Perdata. Malang: UMM press.
Joe Se Setyawan. 2011. Perikatan yang Bersumber Pada Perjanjian. (online). (http://www.scribd.com/doc/48150344/BAB-IV-PERIKATAN-YANG-BERSUMBER-PADA-PERJANJIAN), diakses 04 juni 2012.
Prof. R. Subekti, S.H. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.







Minggu, 15 April 2012

Subjek Hukum (Mahkum Alaih)



          Subyek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah nlakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Dalam isttilah ushul fiqh subjek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Ada dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk dapaat disebut mukallaf (subjek hukum), yaitu ia mengetahui tuntutan Allah dan bahwa ia mmampu melakukan tuntutan tersebut. Penjelesannya sebagai berikut:

  1.       Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham daan tahu itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui dan memahami, hal ini sesuai dengan sabda nabi yang artinya: Agama itu didasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidakberakal.
  2.       Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul disebut ahlul al-taklif. Kecakapan menerima taklifi atau yang disebut ahliyah adalah kepantasan untuk menerima taklifi. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
            Kecakapan untuk dikenai hukum atau yang disebut ahliyah al-wujub, yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewaiban. Para ahli ushul membagi ahliyah al-wujub itu kepada dua tingkatan, yaiitu:

  1.        Ahliyah al-wujub naqish atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seseorang manusia untuk menerima hak tetapi tidak menerima keewajiban atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas untukk menerima hak. Contoh: kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan. Contoh: kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak adalah orang yang mati tetapi masi meninggalkan utang.
  2.        Ahliyah al-wujub kamilah atau kecakapan hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sakarat selama ia masi bernafas. Contoh ahliyah al-wujub kamilah adalah anak yang baru lahir, di samping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya ia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah yang pelaksanaannya dilakukan orang tua atau walinya.
            Kecakapan untuk menjalankan hukum yang disebut ahliyah al-ada’ yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkatan, setiap tingkatan ini dikaitkan kepada batas umur seseorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
            Yang pertama yakni Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Dalam batas ini seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal.
            Yang kedua Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaqitu manusia yang telah mencapai umur tamziy (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.penamaan naqi shah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masi lemah dan belum sempurna. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau perbuatannya terbagi menjadi tiga tingkatan dan setiap tingkatan mempunyai akbat hukum tersendiri yakni:
a.       Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya. Umpamanya menerima pamberian (hibah) dan wasiat.
b.      Tindakan yang semata-mata nerugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya, umpamanya pemberian yang dilakukannya baik dalam bentuk hibah atau sedekah, pembebasan utang, jusal beli dengan harga yang tidak pantas.
c.       Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual beli, sewa menyewa, upah-mengupah,dan lainnya yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain menasmbah hak yang ada padanya.
            Yang ketiga Ahliyah al-ada klimah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqh ditentukan gengan tanda-tanda yang bersifat jasmani, yaitu bagi wanita telah memulai haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Menurut Abu Hanifah umur dewasa untuk laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. tetapi banyak perbedaan tentang hal ini.
            Selanjutnya yang dipermasalahkan apakah islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum, dengan kata lain apakah nonmuslim dengan kekafirannya itu dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Perbedaan pendapat itu sebenarnya bersumber pada perbedaan pendapat dalam hal hubungan persyaratan taklifi dengan terpenuhinya syarat syar’i.
            Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i, kelompok ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Ayat-ayat Al-qur’an yang memerintahkan untuk melakukan ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir, di antaranya seperti surat al-Baqaroh ayat 21 dan surat ali-imron ayat 92.
2.      Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif dengan hal-hal yang bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang kafir bila ia tidak berbuat.contohnya surat Fushshilat ayat 6-7 dan surat al-Maudatsir ayat 42.
3.      Orang-orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan sanksi sebagaimana berlaku terhadap orang mukmin, seperti berlakunya atasnya sanksi zina,mencuri, dan lainnya.
           Kedua, pendapat dari sebagian ulama Hanafiyah, abu ishak al afashani, sebagian kelompok syafi’iyah dan sebagian ulam Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat, karena bagi kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat syar’I sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu. Kelompok ini mengemukakan argument sebagai berikut:
1.      Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syariat, tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak demikian Karena kafirnya itu mencegah sahnya ibadat mereka.
2.      Seandainya orang kafir diberi beban hukum, tentu wajib mereka meng-qadha apa yang dia tinggalkan saat kafirnya itu sesudah ia masuk islam.
           Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat tidak diperlukan niat.          

Minggu, 08 April 2012

SUBYEK HUKUM


Ada beberapa pengertian tentang subyek hukum yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum, antara lain yaitu:
  1.        Subekti, mengatakan bahwa subyek hukum adalah “pembawa hak atau subyek di dalam hukum, yaitu orang”.
  2.    Mertokusumo, mengatakan baahwa subyek hukum adalah “segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum”. Hanya manusia yang dapat jadi Subyek hukum.
  3.     Syahran, mengatakan subyek hukum adalah “pendukung hak dan kewajiban”.[1]
  4.     Algara, mengatakan subyek hukum adalah “setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum”. Sedangkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak.[2]
Dari beberapa pendapat di atas bisa di tarik kesimpulan bahwa subyek hukum adalah setiap orang yang memilik, memperoleh, dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. yaitu manusia yang sebagai subyek hukum karena menurut hukum bahwa setiap manusia itu merupakan orang, yang berarti pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban[3]. Pada dasarnya subyek hukum itu dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Manusia (Natuurlijk Persoon) dan Badan Hukum (Rechts Persoon).

            Manusia (Natuurlijk Persoon), mengapa bisa menjadi subyek hukum tadi sudah sedikit saya singgung[4], dan menurut saya ada dua alasan lagi kenapa manusia sebagai subyek hukum, yang pertama karena manusia mempunyai hak-hak subyektif dan yang kedua kewenangan hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti kecakapan[5] menjadi subyek hukum yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan[6], namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum , orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa[7], sedangkan orang yang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa dan orang yang dibawah pengampuan serta wanita yang bersuami[8]. Sebenarnya menurut hukum setiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrat atau alami, anak-anak serta balita pun sudah di anggap sebagai subyek hukum, bahkan bayi yang masih berada di dalam kandungan sudah bisa di anggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendaki[9], tetapi ada beberapa golongan yang di anggap oleh hukum tidak cakap hukum[10], seperti yang saya jelaskan tadi. Jadi seseorang mulai sebagai subyek hukum itu sejak di dalam kandungan[11] sampai dengan meninggal dunia dengan mengingat Pasal 2 KUHPerdata yang erat di hubungkan kepasal 836 dan Pasal 899 KUHPerdata.

            Selain manusia ternyata Badan Hukum (Recht Persoon) juga termasuk sebagai subyek hukum, tentang hal ini ada beberapa pendapat di antaranya pendapat dari Wirjono Prodjodikoro dan pendapat dari Soedewi Masjchoen Sofwan. Wirjono Prodjodikoro berpendapat: “Suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewjiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum tarhadap orang lain atau badan lain”, Sedangkan Soedewi Masjchoen Sofwan berpendapat: “Baik perhimpunan maupun Yayasan kedua-duanya berstatus sebagai badan hukum, jadi merupakan person pendukung hak dan kewajiban”.[12] Dari dua pendapat tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa badan hukum adalah badan yang terdiri dari kumpulan orang yang di beri status “persoon”[13] oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban, serata badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia, seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya, dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan, serta ikut dalam lalu lintas hukum Indonesia.
            Sebenarnya banyak terjadi perdebatan mengenai bagaimana badan hukum dapat menjadi subyek hukum seperti manusia, banyak sekali teori yang digunakan untuk menjelaskan hal tersebut, akan tetapi menurut Salim HS, SH, Ms teori yang paling berpengaruh dalam hukum positif adalah teori konsensi[14]. akan tetapi masi banyak lagi teori selain teori itu diantaranya:
  1.         Teori Fiksi dari Freidrich carl Von Savigny.
  2.          Teori Organ dari Otto Von Gierka.
  3.          Teori Harta Kekayaan Bertujuan[15] dari Brinz.
  4.             Teori Kekayaan Bersama[16] dari Molengraaft.
  5.          Teori Kenyataan Yuridis dari Paul Scholter.[17]
            Dan jika suatu badan, atau perkumpulan, atau badan usaha yang ingin berstatus badan hukum harus memenuhi syarat-syarat materiil maupun syarat formal, Adapun syarat-syarat materiilnya:
  1.          Harus adanya kekayaan yang terpisah.
  2.          Mempunyai tujuan tertentu.
  3.          Mempunyai kepentingan sendiri.
  4.         Adanya organisasi yang teratur.
Dan syarat formalnya harus memenuhi syarat yang ada hubungannya dengan permohonan untuk mendapatkan status sebagai badan hukum.[18] Sedangkan menurut pasal 1653 KUHPerdata badan hukum dibedakan menjadi beberapa badan hukum, yakni:
  1.         Badan hukum yang didirikan oleh pemerintah, seperti propinsi dan bank-bank pemerintah.
  2.         Badan hukum yang diakui pemerintah, seperti perseroan dan gereja,
  3.         Badan hukum yang didirikan untuk maksud tertentu, seperti PT.
Sedangkan badan hukum berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi dua, antara lain:
  1.         Badan hukum publik. dan
  2.         Badan hukum keperdataan[19].
Badan hukum publik seperti: provinsi, kabupaten, kota praja, lembaga-lembaga, dan bank-bank negara. Sedangkan badan hukum keperdataan contohnya seperti: yayasan, firma, perhimpunan, perseroan terbatas, dan koperasi.



[1] Harumiati Natadimaja, 2008, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum Benda, Graha Ilmu, Yogyakarta.
[2] http://www.scribd.com/doc/38402874/pengertian-subyek-hukum.
[3] Komariah,SH,M.Si, 2010, hukum perdata, UMM Press, malang.
[4] “setiap manusia itu merupakan orang”.
[5] “yang di maksud adalah kecakapan hukum, yakni kemampuan subyek hukum untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah secara hukum”.
[6] “Pasal 2 KUHPerdata”.
[7] “berumur 21 tahun atau sudah kawin”.
[8] “pasal 1330 KUHPerdata”.
[9] “pasal 2 KUHPerdata”
[10] “tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian”.
[11] “pasal 2 KUHPerdata”
[12] Harumiati Natadimaja, 2008, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum Benda, Graha Ilmu, Yogyakarta.
[13] “dalam bahasa Indonesia berarti orang”.
[14] http://www.scribd.com/doc/38402874/Pengertian-Subyek-Hukum.
[15] “atau teori kekayaan tujuan”.
[16] “atau teori milik kolektif yg di pelopori oleh planiol dan molengraaf”.
[17] Keterangan lebih lengkapnya baca hal: 10,  buku Harumiati Natadimaja, 2008, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum Benda, Graha Ilmu, Yogyakarta.
[18] “Di atur dalam KUHD”
[19] “atau dengan nama lain badan hukum privat”