Selasa, 12 Juni 2012

PERIKATAN YANG BERSUMBER PADA PERJANJIAN


A.   Pengertian dan Macam-Macam Perjanjian.
            Perjanjian adalah sumber penting yang melahirkan perikatan. Pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Pdt: “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih”. Atau juga dapat diartikan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian tersebut menerbitkan perikatan, oleh karena itu perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
            Perjanjian terdiri dari dua macam, yaitu:
a.       Perjanjian Obligatoir yaitu suatu perjanjian dimana mengharuskan/mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.
b.      Perjanjian Non Obligator yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan seseorang membayar/menyerahkan sesuatu.
            Perjanjian Obligator ada beberapa macam, yaitu:
1.      Perjanjian sepihak ialah perjanjia yang hanya ada kewajiban pada satu pihak, dan hanya ada hak pada pihak lain.
2.      Perjanjian timbal balik ialah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah pihak.
3.      Perjanjian Cuma-Cuma ialah perjanjian dalam mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tiada mendapatkan nikmat daripadanya.
4.      Perjanjian atas beban ialah perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan prestasi.
5.      Perjanjian konsesuil ialah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan (consensus) dari kedua belah pihak.
6.      Perjanjian riil ialah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan perbuatan/tindakan yang nyata.
7.      Perjanjian formil ialah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu. Bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
8.      Perjanjian bernama ialah perjanjian khusus yang diatur dan disebutkan dalam KUH Pdt buku III bab V s/d bab XVII dan dalam KUHD ( Kitab undang-undang hukum Dagang).
9.      Perjanjian tak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dan tidak disebutkan dalam KUH Pdt dan KUHD.
10.  Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian.
            Perjanjian Non Obligatior ada beberapa macam, yaitu:
1.      Zakelijk overeenkomst ialah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.
2.      Bevifs overeenkomst atau procesrechtelijk overeenkomst ialah perjanjian untuk membuktikan sesuatu. Umumnya ditujukan pada hakim.
3.      Liberatoir overeenkomst ialah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
4.      Vaststelling overeenkomst ialah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum antara kedua belah pihak.

B.   Unsur, Asas dan Syarat Perjanjian.
a.     Unsur-unsur Perjanjian.
          Suatu perjanjian harus memenuhi 3 macam unsure:
1.      Essentialia ialah unsur yang sangat esensi/penting dalam suatu perjanjian yang harus ada.
2.      Naturalia ialah unsur perjanjian yang sewajarnya ada jika tidak dikesampingkan oleh kedua belah pihak.
3.      Accidentalia ialah unsur perjanjian yang ada jika dikehendaki oleh kedua belah pihak.

b.      Asas-asas perjanjian.
            Di dalam ilmu hukum kita kenal adanya 4 asas perjanjian, yaitu:
1.      Asas konsensualitas artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian sudah mengikat.
2.      Bentuk perjanjian bebas artinya perjanjian tidak terikat perjanjian bebas artinya perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu. Boleh diadakan secara tertulis maupun lisan.
3.      Kebebasan berkontrak ialah setiap orang bebas membuat perjanjian yang terdapat dalam Undang-undang yang dikenal sebagai perjanjian bernama.
4.      Apa yang diperjanjikan mengikat kedua belah pihak. Mengikat artinya masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut harus menhormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian.
c.       Syarat-syarat Syah perjanjian.
                Menurut pasal 1320 KUH Pdt, untuk syahnya perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu:
1.      Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3.      Suatu hal tertentu.
4.      Suatu sebab yang halal.
Ad.1) dengan sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan.
Ad.2) dalam pasal 1330 KUH Pdt disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu: orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dan orang perempuan yang telah kawin.
Ad.3) suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi obyek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian.
Ad.4) sebab atau causa ini yang dimaksudkan undang-undang adalha isi perjanjian itu sendiri.
            Syarat no 1 dan 2 disebut “syarat subyektif”, karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orangnya (subyek hukum dalam perjanjian). Syarat 3 dan 4 disebut “syarat obyektif” karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian.
            Syarat-syarat menjadi obyek perjanjian adalah:
1.      Barang-barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 KUH Pdt)
2.      Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (pasal 1333 KUH Pdt)
3.      Barang-barang yang aka nada dikemudian hari (pasal 1334 ayat 1 KUH Pdt)
            Barang-barang yang tidak boleh menjadi obyek perjanjian adalah:
1.      Barang-barang di luar perdagangan.
2.      Barang-barang yang dilarang oleh Undang-undang.
3.      Warisan yang belum terbuka.
            Perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif, akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar) artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perjanjian. Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar) artinya perjanjian tersebut batal kalau ada yang memohonkan pembatalan.
            Menurut pasal 1321 KUH Pdt kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan bebas/tidak sempurna apabila didasarkan:
1.      Kekhilafan (dwaling)
2.      Paksaan (geveld)
3.      Penipuan (bedrog)
Ad.1) khilaf adalah keadaan dimana seseorang mempunyai pandangan yang sama terhadap orang atau barang.
Ad.2) paksaan ialah suatu perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat.
Ad.3) penipuan ialah perbuatan seseorang dengan sengaja memakai alat tipu untuk menimbulkan kekhilafan orang lain.
            Kata sepakat para pihak dalam suatu perjanjian itu harus dinyatakan. Pernyataan itu ada kalanya sesuai dengan kehendaknya, tetapi mungkin pula pernyataan itu tidak sesuai atau tidak selaras dengan kehendaknya. Sehubungan dengan hal ini, untuk menentukan telah terjadinya kata sepakat, ada beberapa teori sebagai berikut:
1.      Teori kehendak (wilstheorie).
            Menurut teori ini jika kita mengemukakan pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat pada pernyataan itu. Dengan demikian tidak terjadi perjanjian.
2.      Teori pernyataan (verklaringstheorie).
            Menurut teori ini kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang pada apa yang dinyatakan.
3.      Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie).
            Menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya. Teori inilah yang sekarang dianut oleh yurisprudensi.
            Dewasa ini sehubungan dengan kemajuan komunikasi, maka sering kali terjadi transaksi-transaksi dilakukan tanpa hadirnya para pihak, misalnya melalui telepon, koresprodensi, Dsb. Sehubungan dengan hal ini, untuk menentukan saat terjadinya perjanjian terdapat berbagai teori, yaitu:
1)      Teori ucapan (uitingstheorie).
            Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut.
2)      Teori pengiriman (verzendingstheorie).
            Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat terjadi dikirimnya surat jawaban, karena saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat.

3)      Teori pengetahuan (vernemingstheorie).
            Menurut teori ini perjanjian terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui.
4)      Teori penerimaan (ontvangstheori).
            Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.
            Apabila suatu perjanjian itu dibuat sudah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Pdt, maka menimbulkan akibat-akibat hukum:
1.      Mengikat kedua belah pihak (pasal 1338 ayat 1 KUH Pdt).
2.      Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu (pasal 1338 ayat 2 KUH Pdt).
3.      Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (pasal 1338 ayat 3 KUH Pdt).
4.      Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang (pasal 1339 KUH Pdt).

C.   Pihak-pihak yang Terikat Pada Perjanjian.
          Pasal 1315 KUH Pdt menentukan: “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Dari pasal 1315 KUH Pdt tersebut dapat kita simpulkan adanya “ azas kepribadian” dari suatu perjanjian. Terhadap azas kepribadian tersebut, terdapat beberapa kekecualian, yang diatur dalam pasal 1316 dan 1317 KUH Pdt.
            Pasal 1316 KUH Pdt menetukan: “meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjajikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu…….dst”. pasal 1316 KUH Pdt terkenal dengan perjanjian garansi.
            Kekecualian lain disebutkan dalam pasal 1317 KUH Pdt yang menentukan: “lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga…….dst”. Pasal 1317 KUH Pdt ini dinamakan janji untuk pihak ketiga (derden beding).
            Selain terdapat kekecualian, azas kepribadian yang ditentukan dalam pasal 1315 KUH Pdt tersebut juga diperluas. Perluasaan Azaz kepribadian disebutkan dalam pasal 1318 KUH Pdt yang menentukan: “jika sesorang minta diperjanjian sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya…….. dst”.
            Jadi pasal 1318 KUH Pdt memperluas personalia suatu perjanjian hingga meliputi:
1.      Para ahli waris pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
2.      Orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
            Hak dan kewajiban yang diperoleh dari suatu perjanjian diwarisi oleh ahli para ahli waris, karena menurut hukum waris segala hak dan kewajiban, atau segala utang piutang, atau aktiva dan pasiva dari pewaris secara otomatis diwarisi atau pindah kepada ahli waris.
            Orang-orang yang memperoleh hak dari seseorang seperti disebutkan dalam pasal 1318 KUH Pdt tersebut dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a.       Orang yang memperoleh hak dari seorang dengan alas hak hukum artinya memperoleh hak dari seseorang secara tidak terperinci (tidak disebutkan satu persatu).
b.      Orang yang memperoleh hak dari seseorang dengan alas hak khusus artinya memperoleh hak dari orang lain secara khusus (mengenai barang-barang teretntu).
            Pasal 1340 KUH Pdt menegaskan kembali asas kepribadian yang sudah dikemukakan dalam pasal 1315 KUH Pdt, yakni bahwa perjanjian tidak dapat membawa rugi bagi pihak ketiga. Terhadap ketentuan ini terdapat pengecualian yang disebut di dalam pasal 1341 KUH Pdt yang tertera dalam ayat 1 dan ayat 2 yang dikenal dengan nama “ Actio Pauliana”.



D.   Cara Menafsirkan perjanjian.
          Suatu perjanjian terdiri atas rangkaian perkataan-perkataan, untuk menetapkan isi perjanjian perlu lebih dahulu menafsirkan perjanjian, Dalam menafsirkan perjanjian ada beberapa pedoman yang ditetapkan dalam pasal:
1.      Pasal 1342 KUH Pdt.
2.      Pasal 1343 KUH Pdt.
3.      Pasal 1344 KUH Pdt.
4.      Pasal 1345 KUH Pdt.
5.      Pasal 1346 KUH Pdt.
6.      Pasal 1347 KUH Pdt.
7.      Pasal 1348 KUH Pdt.
8.      Pasal 1349 KUH Pdt.
9.      Pasal 1350 KUH Pdt.
10.  Pasal 1351 KUH Pdt.










DAFTAR PUSTAKA

Komariah, SH, M.Si. 2010. Hukum Perdata. Malang: UMM press.
Joe Se Setyawan. 2011. Perikatan yang Bersumber Pada Perjanjian. (online). (http://www.scribd.com/doc/48150344/BAB-IV-PERIKATAN-YANG-BERSUMBER-PADA-PERJANJIAN), diakses 04 juni 2012.
Prof. R. Subekti, S.H. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.