Minggu, 15 April 2012

Subjek Hukum (Mahkum Alaih)



          Subyek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah nlakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Dalam isttilah ushul fiqh subjek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Ada dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk dapaat disebut mukallaf (subjek hukum), yaitu ia mengetahui tuntutan Allah dan bahwa ia mmampu melakukan tuntutan tersebut. Penjelesannya sebagai berikut:

  1.       Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham daan tahu itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui dan memahami, hal ini sesuai dengan sabda nabi yang artinya: Agama itu didasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidakberakal.
  2.       Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul disebut ahlul al-taklif. Kecakapan menerima taklifi atau yang disebut ahliyah adalah kepantasan untuk menerima taklifi. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
            Kecakapan untuk dikenai hukum atau yang disebut ahliyah al-wujub, yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewaiban. Para ahli ushul membagi ahliyah al-wujub itu kepada dua tingkatan, yaiitu:

  1.        Ahliyah al-wujub naqish atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seseorang manusia untuk menerima hak tetapi tidak menerima keewajiban atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas untukk menerima hak. Contoh: kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan. Contoh: kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak adalah orang yang mati tetapi masi meninggalkan utang.
  2.        Ahliyah al-wujub kamilah atau kecakapan hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sakarat selama ia masi bernafas. Contoh ahliyah al-wujub kamilah adalah anak yang baru lahir, di samping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya ia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah yang pelaksanaannya dilakukan orang tua atau walinya.
            Kecakapan untuk menjalankan hukum yang disebut ahliyah al-ada’ yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkatan, setiap tingkatan ini dikaitkan kepada batas umur seseorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
            Yang pertama yakni Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Dalam batas ini seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal.
            Yang kedua Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaqitu manusia yang telah mencapai umur tamziy (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.penamaan naqi shah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masi lemah dan belum sempurna. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau perbuatannya terbagi menjadi tiga tingkatan dan setiap tingkatan mempunyai akbat hukum tersendiri yakni:
a.       Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya. Umpamanya menerima pamberian (hibah) dan wasiat.
b.      Tindakan yang semata-mata nerugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya, umpamanya pemberian yang dilakukannya baik dalam bentuk hibah atau sedekah, pembebasan utang, jusal beli dengan harga yang tidak pantas.
c.       Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual beli, sewa menyewa, upah-mengupah,dan lainnya yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain menasmbah hak yang ada padanya.
            Yang ketiga Ahliyah al-ada klimah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqh ditentukan gengan tanda-tanda yang bersifat jasmani, yaitu bagi wanita telah memulai haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Menurut Abu Hanifah umur dewasa untuk laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. tetapi banyak perbedaan tentang hal ini.
            Selanjutnya yang dipermasalahkan apakah islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum, dengan kata lain apakah nonmuslim dengan kekafirannya itu dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Perbedaan pendapat itu sebenarnya bersumber pada perbedaan pendapat dalam hal hubungan persyaratan taklifi dengan terpenuhinya syarat syar’i.
            Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i, kelompok ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Ayat-ayat Al-qur’an yang memerintahkan untuk melakukan ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir, di antaranya seperti surat al-Baqaroh ayat 21 dan surat ali-imron ayat 92.
2.      Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif dengan hal-hal yang bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang kafir bila ia tidak berbuat.contohnya surat Fushshilat ayat 6-7 dan surat al-Maudatsir ayat 42.
3.      Orang-orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan sanksi sebagaimana berlaku terhadap orang mukmin, seperti berlakunya atasnya sanksi zina,mencuri, dan lainnya.
           Kedua, pendapat dari sebagian ulama Hanafiyah, abu ishak al afashani, sebagian kelompok syafi’iyah dan sebagian ulam Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat, karena bagi kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat syar’I sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu. Kelompok ini mengemukakan argument sebagai berikut:
1.      Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syariat, tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak demikian Karena kafirnya itu mencegah sahnya ibadat mereka.
2.      Seandainya orang kafir diberi beban hukum, tentu wajib mereka meng-qadha apa yang dia tinggalkan saat kafirnya itu sesudah ia masuk islam.
           Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat tidak diperlukan niat.          

Tidak ada komentar: