Kamis, 05 April 2012

Pengertian Hukum Syara’ dan Pembagian Hukum Syara’



Hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari  kata “hukum” dan kata “syara”. Kata hukum secara etimologi berarti “memutuskan,menetapkan, dan menyelesaikan”, dan dalam arti yang sederhana dapat di katakana bahwa hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggota”. Sedangkan kata syara’ secara etimologi berarti “jalan-jalan yang biasa dilalui air”, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepada Allah, kata ini secara sederhana berarti “ketentuan Allah”. Bila kata hukum dirangkai dengan kata syara’ maka akan berarti : “seperanhkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan di yakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam”.

             Terdapat perbedaan antara ahli ushul fiqh dengan ahli fiqh dalam memberikan definisi terhadap hukum syara’. Hukum syara’  menurut definisi ahli ushul fiqh ialah: “khitab (titah) Allah yang menyangkut tindak tanduk mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan”.  Sedangkan ahli fiqh memberikan definisi hukum syara’ sebagai berikut: “sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah Allah terhadap orang mukalaf itu”. Perbedaan peristilahan di kalangan dua kelompok ini terlihat pada sisi dan arah pandangan saja.

            Di dalam hukum syara’ terdapat dua pembagian hukum, yaitu hukum Taklifi dan hukum Wadl’i. hukum taklifi yaitu setiap perbuatan dan keadaan dalam hukum islam dapat ditentukan hukumanya, parbuatan atau keadaan tersebut ditempatkan di dalam salah satu penggolongan hukum. Perbuatan orang yang di maksud ialah perbuatan orang yang dapat dibebani hukum atau orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang menurut istilah disebut mukallaf, dan hukum taklifi di bagi lagi menjadi lima bagian, yakni:
  1. Wajib,Perbuatan atas dasar suruhan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala kalau ditinggalkan akan berdosa.
  2. Sunnah, Perbuatan atas dasar suruhan atau anjuran yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala sedang jika ditinggalkan tidak berdosa.
  3. Mubah, Yaitu kebolehan artinya boleh dikerjakan atau ditinggalakan.
  4. Makruh, Lawan dari sunnah, yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan tidak berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
  5. Haram, Sebagai lawan dari wajib, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
Dan hukum wadhl’i yakni hukum yang mengandung sebab syarat dan halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum, sebab ialah sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda danya hukum. Misalnya kematian menjadi sebap adanya kewarisan, akad nikah menjadi sebap halalnya hubungan suami istri. Syarat adalah sesuatu yang kepadanya tergantung suatu hukum, misalnya syarat mengeluarkan zakat, ialah jika telah mencapai nizab/jumlah tertentu dan haul/waktu tertentu, dan masi banyak lagi contoh yg lainya seperti sholat, pembunuhan, dan keadaan gila.

            Jadi kesimpulan dari hukum taklifi dan hukum wadl’i yakni, hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu, meninggalkan atau memilih antara keduanya, sedangkan hukum wadl’i tidak menunjukan suatu tuntutan, hukum wadl’i hanya menjelaskan bahwa syari’ telah menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain, agar mukallaf mengetahui kapan ada dan tidaknya hukum syara’.




Referensi :
  • Abdul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembanganya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta.
  • Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin, 2011, Ushul Fiqh Jilid 1, Kencana Pernada Media Group, Jakarta.
  • Macam-macam Hukum Syara’-Islam Wiki http://islamwiki.blogspot.com/2009/02/macam-macam-hukum-syara’.html#ixzz1qyr62kDu.




















Tidak ada komentar: