Kamis, 15 Desember 2011

Bekerjalah, Engkau Akan Lebih Mulia!

ZAMAN memang sedang susah. Harga kebutuhan pokok terus melambung tinggi setiap hari. Sementara gaji tidak tentu bertambah setiap bulan. Jutaan sarjana bertambah setiap tahunnya. Namun sebagian besar perusahaan ‘kurang ramah’ dengan para sarjana baru lulus. “Dibutuhkan karyawan yang berpengalaman, minimal pernah bekerja dua tahun,” begitu semboyannya.
Banyak warga terdhalimi oleh situasi. Rumah-rumah mereka tergusur atau digusur. Akibat kelalaian, puluhan ribu orang korban Lapindo Brantas kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Di saat yang sama, ada orang bermewah-mewah untuk hal-hal yang sedikit kemanfaatanya. Ada pengusaha yang rela mengeluarkan biaya 10 Milyar untuk biaya pernikahan anaknya. Seorang bakal calon Bupati atau Walikota menghabiskan dana serupa untuk biaya kampanye.
Bahkan ada yang lebih menyedihkan dari semua itu. Menjelang perayaan Tahun Baru 2010, sebuah pengelola hiburan di Jakarta rela menghabiskan uang Rp 2 Miliar hanya untuk biaya kembang api.
Fenomena ini bisa melukai perasaan Anda, khususnya yang sedang menderita, yang tak memiliki pendapatan apa-apa dan yang selalu ditolak saat melamar kerja.
Ini memang zaman susah. Meski demikian, semua kesusahan hendaknya tetap menjadikan kita terus bersemangat untuk berusaha dan tidak gampang menyerah.
Kegigihan untuk mencari nafkah hendaknya tetap terjaga, jangan sampai kendor. Ketidakadilan sosial atau politik, janganlah menyebakan kita menjadi “buta” dan gelap mata.
Mengapa demikian pentingnya bekerja? Karena dalam agama kita, bekerja bukan semata untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan, lebih dari itu, ia akan mengangkat derajat kita di mata manusia maupun di sisi-Nya. Dalam agama Islam, orang yang bekerja adalah orang yang memiliki harga diri dan kemuliaan.
Dalam salah satu haditsnya, baginda Rasulullah Saw menjelaskan, “Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak.” (HR.Mutafaq’alaih)

Orang yang dengan gigih bekerja keras, membanting tulang, mencari rezki dari memeras keringat dan makan dari hasil itu, maka itu lebih baik dari makan hasil yang diperoleh dari harta warisan, atau memperoleh berdasarkan pemberian orang karena si pemberi merasa terdorong untuk memberi, terlebih jika shadaqah itu memang diminta-minta.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw bersabda, ”Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah SWT.” (HR. Ahmad)
Semua bentuk usaha yang dilakukan dengan membanting tulang dan pantang menyerah akan memompa semangat berkontraksi otot tubuh yang menyebabkan kesehatannya tetap terjaga dan semakin menambah kekuatannya. Secara fisik orang yang berlaku seperti ini akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, sedang dalam jiwanya akan tumbuh rasa percaya diri dan sifat mandiri. Ia tidak tergantung dengan orang lain.
Sebaliknya orang yang hidup berdasar dari belas kasih orang lain, selain bermental pasif, mereka juga memiliki jiwa lemah bahkan mematikan jiwa. Dengan sangat tegas Nabi mengingatkan kepada kita bahwa, “Pengangguran (dapat) menyebabkan hari keras (keji dan membeku).”(HR. Asysyihaab).

Pengangguran aktif--yang didorong oleh kemalasan, dan pengangguran pasif --karena bersandar dari tunjangan-tunjangan, warisan,sama-sama berpotensi membuat hati menjadi keras dan membeku.

Islam memerintahkan kepada kita, selama hayat masih dikandung badan, bergerak dan berkarya adalah sangat dianjurkan. Rasulullah mengingatkan ummatnya agar manusia senatiasa berusaha dan berhati-hati terhadap waktu luang, karena pada momentum tersebut merupakan ladang subur bagi syetan untuk menanamkan kemunkaran. Ditinjau dari konteks ini maka bekerja dan berakritivitas adalah jalan lain untuk membentung kejahatan.
Bahkan apapun atau bagaimanapun bentuk pekerjaan itu, bila berangkat dari mencari keridhaan-Nya adalah bernilai ibadah, yang berarti mendapatkan ganjaran di sana.
Itulah sebabnya (hikmahnya)mengapa di pagi buta seusai shalat subuh (fajar) kita dilarang tidur lagi sebagaimana disabdakan oleh beliau Saw, ”Seusai shalat fajar(subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikan kamu untuk mencari rezki.” (HR.Ath-Thabrani).
Seiring dengan perputaran matahari, kita juga diperintahkan untuk menjalankan amanah-amanah kehidupan dengan bekerja dan bekerja.
Dalam al-Qur’anul Karim kata ‘aamanu’ (beriman) senantiasa diikuti dengan ‘wa aamilushsholihat’ (melakukan amal sholeh/kerja), seperti yang termaktub dalam surat al-Ashr: 3; illalladzinaamanuu wa ‘amimush-sholihati wa tawa shoubil haqqi fatawa shoubishshobri. (kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran).
Orang yang senantiasa bergerak/kerja menandakan keimanan yang bersangkutan dalam kondisi aktif dan dinamis. Sebaliknya, mereka yang ‘menikmati’ bermalas-malasan alias gemar berpangku tangan, menandakan dirinya sedang dilanda impotensi iman. Naudhubillahi mindhalik.
Asahlah iman, agar iman kita lebih dinamis dan produktif. Sempurnakan kecintaan kita kepada Allah dengan semangat yang kuat untuk menjemput fadhilahnya/rezkinya yang dihamparkannya begitu luas di penjuru bumi. Singsingkan lengan baju, setelah kita bertakarrub kepadaNya. Begini inilah yang dikatakan iman yang potensial. Iman yang aktif lagi produktif.
Menurut Ibnu Atsir, bekerja termasuk bagian dari sunnah-sunnah nabi. Nabi Zakaria as. adalah tukang kayu. Nabi Daud as. membuat baju besi dan menjualnya sendiri. Bahkan sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah, Nabi Daud itu tidak akan makan, kecuali makan dari hasil tangannya sendiri.
Siapa yang tidak mengenal Nabiullah Daud? Selain seorang Nabi, beliau telah diberi oleh Allah SWT kekuasaan dan harta yang melimpah. Walau begitu, beliau tidak merasa gengsi untuk bekerja dengan tangannya sendiri guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Beliau tidak mengajarkan berpangku tangan dan mengharap belas kasih dari orang lain, pada ummat yang dipimpinnya.
Akhirul Kalam
Marilah kita tetap bekerja, bekerja dan bekerja. Apapun itu bentuk pekerjaannya. Selagi dalam koridor syari’at alias tidak diharamkan-Nya, lakukanlah itu dengan kesungguhan. Bila hal itu kita lakukan, insya Allah hal itu akan membuat hidup kita menjadi lebih mulia dan terhormat. Bukan begitu saudaraku? Wallahu ‘alam bishshowab. 

*di kutip dari: Ali Atwa/hidayatullah.com

Jaga Lisan, Dengan Hati-hati Berbicara!

SUATU hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat lidahnya terhadap tetangga-tetangganya.” Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, “Sungguh ia termasuk ahli neraka.” 
Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata, “Sungguh ia termasuk ahli surga.” (HR.Muslim)
Sebagai makhluk sosial, tentu semua orang tidak bisa lepas dari interaksi dengan sesama. Siang dan malam kita pasti bertutur kata. Tak satu pun manusia yang bisa hidup tanpa berbicara.
Berbicara merupakan media utama dari seluruh proses interaksi sosial. Baik buruknya proses interaksi sosial salah satunya dipengaruh oleh bagaimana kita bertutur kata. Karenanya, agar apa yang kita ucapkan tidak menjadi bumerang bagi diri sendiri, lebih-lebih membahayakan orang lain baik di dunia maupun di akhirat, kita mesti cermat dalam berbicara.
Cermat dalam arti mengerti dengan baik bahwa kita hanya boleh berbicara yang memiliki kandungan manfaat, ilmu, atau nasehat, serta yang bisa menjernihkan sebuah permasalahan. Sekiranya kita tidak mengerti apa yang harus kita ucapkan sebaiknya berpikirlah lebih dulu, sebelum memutuskan untuk ikut berbicara.
Seringkali seseorang berbicara tanpa diawali proses berpikir dan tidak melalui pertimbangan sebelumnya. Tindakan seperti itu berpotensi mengundang masalah baru yang boleh jadi akan berlarut-larut, sehingga memperkeruh keadaan dan mengancam tali ukhuwah dengan sesama Muslim. Apabila hal ini terjadi maka tidak ada tempat bagi orang yang berbicara kecuali neraka.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknyaa lebih jauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari Muslim).
Pepatah mengatakan, “Mulutmu harimaumu.” Oleh karena itu, kecermatan dalam berbicara mutlak harus kita upayakan. Kita perlu tahu secara pasti, kapan kita bicara, apa yang harus kita bicarakan, dan paling penting adalah manfaat apa yang akan diperoleh diri sendiri, yang mendengar dan orang lain, tatkala kita berbicara.
Dalam situasi kita tidak mengerti apa yang harus kita ucapkan, tidak berbicara adalah langkah yang bijaksana. Maka pantas jika kemudian Lukman al-Hakim menasehati putranya dengan mengatakan bahwa, “Diam itu hikmat tapi sedikit sekali orang yang melakukannya.”
Akan tetapi, manakala kita mengerti secara mendalam dan komprehensif akan hakikat sesuatu dan penjelasan akan hakikat sesuatu itu sangat dibutuhkan, maka berbicara dalam konteks ini adalah wajib. Sebagaimana telah ditegaskan oleh rasulullah saw dalam sebuah hadisnya.
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam” (HR. Bukhari).
Imam Nawawi menjabarkan bahwa hadis di atas adalah hadis shohih, yang menjelaskan bahwa kita tidak pantas berbicara kecuali berbicara yang baik dan jelas-jelas mengandung maslahat. Bila diragukan kemaslahatannya, maka diam adalah langkah yang utama untuk dilakukan.
Jadi berbicara menduduki posisi yang sangat strategis. Dengan iman dan ilmu, pembicaraan yang kita lakukan dapat mengundang berkah dan keridhaan Allah SWT. Sebaliknya, berbicara terus-menerus tanpa ilmu, tanpa berpikir panjang akan mengantarkan kita pada kemurkaan-Nya.
Termasuk tatkala kita ingin menghibur orang lain dengan perkataan lucu. Sekalipun dalam maksud bercanda, berbicara yang lucu tetap tidak boleh mengandung unsur dusta atau sia-sia belaka.
Rasulullah sangat melarang umatnya berbicara, berbohong meski dengan maksud agar orang lain tertawa karena mendengarkannya.
"Celaka bagi orang yang berkata kemudian berbohong supaya orang-orang tertawa, maka celaka baginya, maka celaka baginya." (HR. Abu Dawud)
Sepanjang hari, siang dan malam setiap orang pasti berbicara. Dan, esok hari pun kita akan berbicara dan terus berbicara. Oleh karena itu hemat dan cermatlah dalam berbicara. Jangan sekali-kali membuka celah untuk berkata bohong. Sebab pintu-pintu kebohongan lainnya akan terbuka demi untuk menutupi kebohongan pertama.
Maka dari itu tidaklah berlebihan jika perkataan yang baik itu memiliki derajat yang lebih utama daripada sedekah yang diungkit-ungkit hingga menyakiti perasaan yang menerimanya.
قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Baqarah: 263).
Kini, marilah kita jaga lisan kita dari kata-kata yang tak berguna.*/Imam Nawawi


*di kutip dari: Hidayatullah.com

Makin Bersyukur, Makin Sehat!

Tahukah Anda bahwa ada komponen penting dari kebahagiaan yang sering diabaikan? Secara ilmiah, bersyukur secara teratur justru dapat meningkatkan kebahagiaan sebanyak 25 persen, demikianlah salah satu hasil studi yang dilakukan Robert A. Emmons, Ph.D., dari University of California.
Robert Emmons yang juga editor-in-chief of the Journal of Positive Psychology mengungkap rahasia apa arti penting harus merasa bersyukur.

Hasilnya menunjukkan, banyak bersyukur dan berpikir positif justru dapat membawa pengaruh baik bagi kesehatan, mood, hingga hubungan dengan pasangan.

Dalam studinya, ia mengamati hubungan antara kebahagiaan dengan kondisi kesehatan seseorang. Dalam riset ini, tim peneliti meminta para respondennya untuk mengisi buku harian selama 10 minggu. Buku harian ini berisi lima hal yang mereka syukuri yang terjadi minggu lalu. Hasilnya, para responden terbukti 25 persen lebih bahagia dari sebelumnya. Mereka juga menunjukkan kondisi tubuh yang lebih bugar ketimbang orang-orang yang kurang bersyukur atas apa yang dialaminya.

“Riset ini menunjukkan bahwa rasa bersyukur dapat membawa efek yang luar biasa dari segi fisik dan psiko-sosial,” tutur Rita Justice dari University of Texas Health Science Center, seperti dikutip Huffington Post.

“Praktik menulis harian syukur dan praktek-praktek lainnya sering tampak begitu sederhana dan mendasar; dalam studi kami, kita sering memiliki orang-orang menyimpan catatan harian rasa syukur sekitar tiga minggu. Namun hasilnya sudah luar biasa. Kami telah mempelajari lebih dari seribu orang, dari usia 8 – 80 tahun, dan menemukan bahwa orang yang berlatih dengan konsisten perasaan rasa syukur dilaporkan banyak membawa manfaat,” tulis Robert A. Emmons dalam artikelnya yang dimuat di www.dailygood.org.

Menurut Emmons, tiga kekuatan sebagai bagian dampak rasa syukur pada tiap orang. Pertama dampak fisik, psikologi dan sosial.

Secara fisik, orang yang banyak bersyukur akan memiliki; sistem kekebalan tubuh yang kuat, kurang terganggu oleh sakit dan nyeri, dapat menurunkan tekanan darah, dan tidur bisa lebih lama dan merasa lebih segar setelah bangun.

Sedang secara psikologis, orang yang banyak bersyukur memiliki tinggi tingkat emosi positifnya, lebih waspada, hidup, dan terjaga, lebih bersukacita dan senang juga lebih optimis dan mudah bahagia.

Secara sosial; ia lebih mudah membantu, murah hati, dan penuh kasih pada orang lain dan sedikit memiliki rasa kurang kesepian dan terisolasi.

Menurut Emmons, ada dua komponen sebagai dampak rasa syukur. Pertama, merupakan penegasan dari kebaikan. Kedua, dengan syukur bisa mencari tahu dari mana kebaikan datang.

“Ini tidak berarti bahwa kehidupan sempurna, tetapi tidak mengabaikan keluhan, beban, dan kerepotan. Tetapi ketika kita melihat kehidupan secara keseluruhan, syukur mendorong kita untuk mengidentifikasi beberapa jumlah kebaikan dalam hidup kita.”

Sebelumnya, tahun 2008, studi 2008 yang dilakukan psikolog Alex Wood yang ditulis dalam Journal of Research in Personality, menunjukkan rasa terima kasih dan stukur dapat mengurangi frekuensi dan durasi episode depresi. Sedang penelitian yang dilakukan Michael McCullough dan Jo-Ann Tsang telah menyarankan bahwa orang yang memiliki tingkat rasa syukur memiliki tingkat rendah menyangkut perasaan benci dan iri hati.

“Ini masuk akal. Anda tidak bisa merasa iri dan bersyukur pada saat yang sama. Mereka perasaan yang tidak kompatibel. Jika Anda bersyukur, Anda tidak dapat membenci seseorang untuk memiliki sesuatu yang Anda tidak miliki,” ujar Emmons.

Sebelum penelitian ini, Allah SWT telah memberikan janjinya bagi orang-orang yang benyak bersyukur. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami (Allah) akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'." (QS: Ibrahim: 7).*

*di kutip dari Hidayatullah.com

Rabu, 14 Desember 2011

Lalu Siapa?

Kalau bukan karena Allah, lalu siapa yang bisa menjamin jiwa ini masih hidup senantiasa. Juga nyawa ini masih lapang dalam melangkah. Kalau bukan karena Allah, lalu siapa?
Kalau bukan karena Allah, lalu siapa yang bisa memberi nafas dalam kesegaran. Juga memberi nikmat yang tak berpenghabisan, hingga kita pun tenang, tanpa kurang satu apapun. Kalau bukan karena Allah, lalu siapa?
Kalau bukan karena Allah, lalu siapa yang akan menutup aib-aib kita. Siapa yang mampu menyimpan segala dosa-dosa yang menggunung di dalam diri. Siapa lagi yang mampu menjaganya selain Allah? Kalau saja DIA tak melakukannya, pantaskah kita menghadapkan muka kita di kerumunan orang? sedangkan kita pun malu akan banyaknya dosa, ribuan lalai, hingga kotornya diri dalam keterpurukan Iman. Kita pun tak punya alasan untuk menenangkan hati dan jiwa, karena memang ia telah hitam pekat tak terkira. Kalau bukan Allah yang menutupinya, lalu siapa?
Kalau bukan karena Allah, lalu siapa yang mampu menghentikan duka dalam hidup kita. Menghapuskan lara yang sering sekali kita keluhkan di hadapan-Nya. kalau bukan karena Allah lalu siapa? Siapa lagi yang memberi kita kesempatan untuk memperbaiki yang salah, siapa lagi yang mampu memberi kita ruang untuk berpikir dan merenung atas segala khilaf kita selain Allah. Siapa lagi saudaraku? Siapa lagi, selain Allah?
Lalu… Jika semua ini karena kasih dan sayangnya yang berlimpah. Pantaskah kita lalai dalam mengabdi? pantaskah kita merasa kurang dalam rezeki? atau pantaskah kita merasa sempit sedangkan Allah telah memberi segalanya?
Jika memang kita merasa pantas. karena telah mensyukuri-Nya. Mari kita hitung apa-apa yang ada dalam diri kita.
Pantaskah diri kita disebut takwa, sedangkan seharian waktu kita, hanya menghadirkan Allah dalam segelintiran waktu yang begitu cepat terasa?
Pastaskah diri kita disebut beriman, sedangkan kokohnya janji dalam syahadat kita tidak pernah terealisasi dalam langkah yang nyata lagi purna? Betapa masih banyak keluh juga rasa malas untuk tiap langkah ibadah dalam mengingat-Nya, betapa masih banyak sisa-sisa tenaga kita yang kita gunakan untuk meraih penggal takwa yang entah bisa dirasa di dalam diri atau tidak. Kita bukan hanya kurang, tapi belum berbuat apa-apa.
Lantas, dimana posisi kita? Dimana saudaraku… ?

Oleh: kiptiah hasan